pasti familiar dong sama statement "Indonesia on Sale" akhir-akhir ini? merasa ada yang kurang? Yap, mungkin lebih lengkapnya, "Indonesian Maids Now on SALE!!!". begitulah bunyi advertisement broschure yang akhir-akhir ini membuat sebagian masyarakat Indonesia berang. khususnya bagi para netizen, yang memang awal berita ini muncul karena gambar yang diunggah di social media. seperti yang telah dilansir oleh VOA Indonesia dalam artikelnya yang berjudul "Migrant Care : Iklan TKI on Sale Tidak Boleh Ditoleransi" pada tanggal 29 Oktober 2012 lalu, selebaran yang awalnya ditemukan oleh direktur eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah di kawasan Chowkit, Kuala Lumpur, Malaysia dimana kawasan tersebut merupakan lokasi yang sering didatangi para TKI. Selebaran tersebut ditempel di area publik seperti jalan, depan toko/kedai, dll.
TKI on Sale Advertisemnet Broschure |
Look at picture above! Pasti tau dong bagaimana bentuk iklannya. Iya, model iklan seperti itu sungguh tak lebih, sama dengan iklan yang ada di mal-mal yang menggelar diskon besar-besaran untuk berbagai item barang seperti baju, tas, sepatu, dan lainnya. Dan itulah yang menyebabkan iklan "TKI on Sale" tersebut menjadi top trending pemberitaan media. tak ayal juga mengundang kecaman dari sebagian masyarakat Indonesia dan beberapa pihak, utamanya yang concern dibidang ketenagakerjaan. bagaimana tidak? iklan tersebut secara gamblang, menyamakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seperti barang dagangan. Iya, seperti zaman perbudakan.
Lalu, salah siapa?
Ketika pertama mendengar beritanya, mungkin kita langsung menjudge salah "perbuatan" negara tetangga dan masih serumpun dengan kita tersebut, karena tidak adanya proses advertisement fit and propertise oleh lembaga yang berwenang sebelum iklan tersebut di-launch di masyarakat. karena pada dasarnya, orang cenderung lebih mudah untuk menyalahkan daripada melakukan self-reflection at once we had a bad condition.
Namun, agaknya kita masih harus berpikir ulang, apakah judgement itu benar mutlak?
ada beberapa kondisi yang terjadi disekitar kita, yang perlu kita pahami.
PERTAMA,
Ada 2 kemungkinan orang dibalik iklan tersebut. Orang ketenagakerjaan kita sendiri atau Malaysian yang ilegal. Mengapa orang ketenagakerjaan kita sendiri? Lumrahnya, orang beriklan tentang produknya sendiri dong, dimana "produk" dalam iklan tersebut adalah TKI. Namun, dilain sisi saya yakin bahwa tidak mungkin ada seorang warga negara yang menjatuhkan martabat negaranya sendiri, seapatis apapun mereka terhadap bangsanya, termasuk warga negara kita. Jadi, kita hilangkan saja kemungkinan itu. Dan ternyata setelah diusut, pelaku dibalik penyebaran iklan tersebut adalah agen tenaga kerja Malaysia yang ilegal. Nah, sekarang yang jadi masalah, mengapa sampai ada TKI yang jatuh ke agen ilegal? Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri telah disebutkan bahwa penempatan TKI pada pengguna, harus melalui mitra usaha (legal) di negara tujuan.
KEDUA,
Bosan dengan pemberitaan media tentang eksploitasi TKI di luar negeri? Wajar. Selama tahun 2009, tercatat 1170 TKI dari 100ribu pekerja domestik lari dari majikan. sebanyak 60% diantaranya bermasalah soal penggajian, dan sisanya masalah kekerasan dan kriminal. Tidak sebanding dengan gelar yang diberikan kepada mereka, sang Pahlawan Devisa. Sebenarnya, gelar Pahlawan Devisa menurut saya hanyalah sebuah gimmick yang dibentuk agar terlihat lebih gagah. Padahal hanya ekspor pembantu.
KETIGA,
Pemerintah Indonesia terlalu sibuk mengecam perbuatan penyebaran "iklan" tersebut dan menganggap bahwa kasus ini merupakan kasus pure kriminal dari warga Malaysia yang tidak bertanggung jawab. Menlu, Marty Natalegawa, menyatakan protes resmi melalui Kedutaan Besar RI untuk Malaysia dan memanggil Dubes Malaysia di Jakarta untuk meminta penjelasan. "Kami menugaskan tim menelusuri alamat pemasang iklan, tetapi alamat itu adalah kedai cukur. Kami masih terus memverifikasi. Bisa jadi ada pihak tak bertanggung jawab, yang sengaja mengedarkan iklan itu" ujar Marty di media harian ibukota pada tanggal 29 Oktober lalu. Pak menteri seolah ingin membangun pemikiran bahwa iklan tersebut bukan dikeluarkan oleh otoritas resmi Malaysia. Iklan itu murni berasal dari pihak ilegal yang tidak bertanggung jawab, yang bertujuan ingin merusak hubungan kenegaraan Indonesia - Malaysia. jika itu terbukti, selesai sudah perkara. Pure kriminal. Bukan dianggap sebagai persepsi publik yang menyebar luas pada masyarakat Malaysia. Betapa rendah mereka memandang TKI kita.
KEEMPAT,
BPS (Biro Pusat Statistik) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2012 tersurvei sebanyak 29.13 juta orang (11.96%). Rendahnya tingkat pendapatan membuat TKI kita rela meninggalkan keluarganya hanya untuk menjadi seorang pembantu di negeri orang, tentu dengan tanpa keinginan mendapat bonus perlakuan kasar secara fisik, mental, maupun seksual. Sementara itu, berita tentang kemajuan Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir memang luar biasa. Hasil kajian Credit Suisse yang dituangkan dalam Global Wealth 2012 menyatakan, dari 155 juta orang dewasa Indonesia saat ini terdapat 104.000 orang kaya dengan total kekayaan diatas US$ 1 juta atau Rp 9M. Pada saat yang sama, 82% dari 1555 juta orang dewasa hidup dengan kekayaan kurang dari US$ 10.000 atau 99 juta per kapita. Mereka dikategorikan miskin. Angka ini jauuh lebih tinggi dari jumlah orang miskin dunia yang mencapai 69% orang dewasa. See that?
Semua indikator ekonomi Indonesia bagus. Tapi, kemajuan ekonomi ini hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Visi pembangunan, "pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment", yang sering dikumandangkan pemerintah belum sungguh membuahkan hasil. Ya, kemajuan sejumlah indikator ekonomi pertumbuhan kelas menengah dan orang kaya yang cukup signifikan, perlu kita apresiasi sebagai prestasi yang membanggakan. Namun, defisit kesejahteraan yang dialami oleh mayoritas anak bangsa sudah sepatutnya lebih mendapatkan perhatian. Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan pahit ini. Seharusnya. Namun agaknya, hal itulah yang malah dilakukan oleh Menkeu, Agus Martowardojo. Menutup mata, mencoba apatis dengan menolak memasukkan indeks gini dalam asumsi RAPBN 2013. Indeks gini adalah indikator untuk mengukur kesenjangan pendapatan (kemerataan kekayaan). Realitas itu tergambar dari Indeks Gini pada tahun 2011 mencapai 0.41. Artinya, 1% penduduk Indonesia menguasai 41% total kekayaan. Angka tersebut merupakan yang tertinggi, setidaknya sejak 1999. Dan bisa dipahami dong mengapa bapak menteri menonak pencantuman tersebut. Ya, sebab itu bisa membuat ekonomi Indonesia terlihat jelek dan tidak merata. Jadi, daripada mengubah strategi pembangunan ke arah yang lebih memeratakan kekayaan nasional, jaaauh lebih mudah untuk tidak memasukkan Indeks Gini dalam RAPBN. Tricky!
Se-tricky calo yang memeras TKI sendiri di bandara Soekarno-Hatta :(
Nothing's too late. Sebelum orang kaya semakin kayaaa, sedangkan kelompok miskin semakin tertinggal. Mumpung belum terlalu terlambat, pemerintah perlu meninjau secara mendasar corak pembangunan Indonesia yang ternyata menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonominya mencapai lebih dari 6%, tidak merata. Karena jika tidak, bisa jadi dalam kurun waktu 15-20 tahun lagi, akan muncul selebaran iklan di masyarakat global yang berbunyi : Indonesia on Sale! Iklan yang bukan lagi mengobral murah TKI kita, melainkan Indonesia sebagai sebuah negara. Terdengar berlebihan? sepertinya tidak.
references :
http://www.voaindonesia.com/content/migrant-care-iklan-tki-on-sale-tidak-boleh-ditoleransi/1535294.html
http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2012/11/03/14886/121/TKI-on-Sale
http://nasional.kompas.com/read/2012/10/30/04114021/RI.Protes.Iklan.TKI.di.Malaysia
http://www.tempo.co/read/opiniKT/2012/09/19/1932/Kesenjangan-yang-Melebar